PELESTARIAN ANGGREK ALAM BERBASIS KOMUNITAS LOKAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Otonomi daerah memberikan konsekuensi untuk mengambil kewenangan sebesar-besarnya dalam pengelolaan sumberdaya alam. Pengelolaan yang sebenarnya memiliki sisi negative berupa eksploitasi sumberdaya alam secara cepat. Alasan klasik yang sering dikemukakan yaitu untuk memenuhi tuntutan pendapatan asli daerah. Eksploitasi yang lebih buas juga terjadi pada kabupaten-kabupaten baru dalam rangka menguatkan capital daerah. Sumberdaya alam yang paling cepat menghasilkan cash income adalah hutan beserta potensi yang ada didalamnya, khususnya sebagai sumber kayu dan bahan mineral. Tak hanya itu, konsumsi lahan hutan untuk dikonversi menjadi perkebunan merupakan proyek menggiurkan untuk memperoleh pendapatan secara cepat dan praktis. Tak heran, dalam tempo 30 tahun sejak 1970-an, hutan tropis di Sumatra tinggal kurang dari 10 % luas semula. Ini berarti kerusakan yang terjadi 10 kali lebih cepat dari apa yang pernah terjadi di Jawa (Hutan hujan tropis di Jawa habis dalam jangka 100 tahun, yaitu antara 1800-1900). Bahkan World Bank meramalkan bahwa hutan hujan tropis di Kalimantan akan habis pada tahun 2010. Kerusakan hutan tersebut dipicu oleh konversi lahan untuk monokultur sawit, hutan industri (kayu pulp), pertambangan terbuka, pembangunan infrastuktur dan kebakaran hutan.

Saat ini, di Sumatera kita hanya bisa melihat hutan-hutan alam itu di sepanjang bukit barisan, dimana kawasan-kawasan taman nasional berada dan dikelola. Proses kepunahan ekosistem dan species saat ini terus terjadi di hamper seluruh Sumatera, dan menyusul Kalimantan, serta sangat mungkin pulau-pulau lainnya. Papua menjadi incara investor kehutanan karena disanalah “emas hijau” masih bertumpuk. Saat ini koperasi-koperasi yang diback-up cukong mulai membabat hutan-hutan alam di Papua. Masyarakat adat cukup dibayar Rp.20.000-50.000 per m3 kayu yang diperoleh.

Lalu kaitannya dengan anggrek alam….
Berkaitan dengan semakin menipisnya ekosisten hutan hujan tropis yang berperan sebagai habitat utama anggrek-anggrek species tropis, maka tak elak kepunahan plasma nutfah anggrek alam sudah didepan mata. Tanggung jawab siapakah ini?? Tentu saja tanggung jawab kita semua sebagai warga negara sekaligus pecinta anggrek. Kepunahan anggrek di alam tidak hanya 100 % oleh kerusakan habitat hutan, eksploitasi dalam rangka pemenuhan konsumsi kolektor anggrek juga menyumbang persentase yang cukup signifikan terhadap kepunahan anggrek alam. Oleh karena itu, sebagai pecinta anggrek (khususnya pedagang dan kolektor anggrek species) tentunya memiliki tanggung jawab yang tak kalah besarnya dengan tanggung jawab yang diemban pemerintah. Banyak pihak yang dengan suka rela ingin berperan sebagai eksploitor, meskipun harus mengeluarkan modal yang cukup besar dengan spekulasi yang tinggi. Namun pada giliran dimana peran konservator dan rehabilitator dibuka….banyak pihak yang menunjuk pemerintah sebagai pemain tunggal.

Pada kondisi saat ini konsep pemberdayaan masyarakat akan lebih efektif dibanding konsep konservasi secara terpusat. Semakin banyak gerakan-gerakan potensial ditingkat bawah justru akan mempermudah jalannya upaya konservasi. Komunitas-komunitas potensial di kawasan habitat anggrek alam, atau yang berbatasan dengan habitat anggrek harus menjadi prioritas awal untuk dibina dan diberdayakan. Karena komunitas inilah yang berhubungan langsung dengan kelestarian habitat anggrek. Komunitas ini tergolong kelompok yang rentan terhadap kerusakan hutan dan kerusakan habitat anggrek. Apabila hanya mengandalkan langkah eksploitasi sebagai senjata utama dalam mengeruk potensi anggrek alam, maka masa-masa keemasan hanya akan berlangsung sementara. Komunitas ini perlu berpikir lebih jauh agar potensi wilayahnya tidak serta merta “diboyong” keluar dari wilayahnya, karena pada saat terjadi kelangkaan anggrek alam di habitatnya, maka sumber pendapatan alternatif ini lambat laun akan berakhir. Menjual anggrek alam dengan harga tinggi bukanlah langkah yang efektif untuk mengatasi hal ini…anggrek bukanlah komoditas konsumsi utama yang harus ditebus berapapun mahalnya. Dengan melambungnya harga hingga mencapai nilai yg tidak realistis (ditandai dengan geleng2 kepala keheranan), maka sebagian besar konsumen justru akan berpikir realistis dan akan berlari mencari barang pengganti dengan harga yang lebih terjangkau. Mungkin hanya beberapa kolektor lama yang akan bertahan, merekapun tidak akan membeli banyak, bahkan cenderung cukup memiliki varietas yang terbaik saja. Mengandalkan pedagang?! Mereka justru lebih realistis dibanding konsumen umum.

Langkah yang perlu dikembangkan adalah dengan membudidayakan anggrek alam yang ada diwilayahnya. Varian2 istimewa harus dijaga dan dimanfaatkan untuk jangka panjang (indukan kultur jaringan) sebagai “pusaka andalan” wilayah tersebut. Siapa sih yang mau sering2 ke Jogja kalo resep asli gudegnya banyak tersebar diluar kota, dan tradisinya banyak ditemui di berbagai desa di Indonesia. Komunitas ini sering identik dengan komunitas adat, dan komunitas tradisional lainnya. Oleh karena itu, pembinaan mengenai pengenalan anggrek, teknik budidaya, pemahaman konservasi, dan ilmu2 pendukung lainnya sangatlah penting dilakukan. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah penguatan kelembagaan komunitas. Pembinaan ini tentunya harus didukung pula oleh institusi pendidikan (universitas), LSM, investor lokal, atau dinas pemerintah terkait untuk membantu dalam proses pengadaan modal, atau bibit kultur jaringan dan saprodi. Dengan demikian, anggrek species yang dihasilkan selain akan lebih berkualitas dari segi mutu juga dapat bersaing dalam segi harga. Memang sistem ini memerlukan proses cukup panjang serta kerja keras, sebaliknya…tidak semua yang praktis dan singkat itu lebih baik.

Komunitas lokal/adat yang mapan diharapkan akan memiliki tanggung jawab moril dalam penjagaan kelestarian anggrek di habitatnya karena merekalah “harta” mereka. “Rasa memiliki” yang sebelumnya diwujudkan dengan aktivitas eksploitasi habis-habisan, maka lambat laun akan diimplementasikan menjadi rasa ingin melindungi. Mereka berharap, konsumen yang menginginkan anggrek khas wilayah tersebut akan membeli anggrek yang telah mereka budidayakan…bukan dari berburu di hutan. Disinilah kekuatan kelembagaan komunitas diuji kekompakan dan konsistensinya.

Dalam segi pemasaran, saat ini banyak tersedia media2 publikasi dengan range jangkauan pasar yang luas. Diantaranya melalui internet. Cukup melimpah forum-forum mailing list yang mengangkat topik pertanian, tanaman hias, bahkan spesifik ke anggrek. Media ini dipandang sebagai langkah yang jitu dalam pemasaran langsung pada konsumen akhir, bahkan tidak jarang pula akan bertemu dengan para distributor atau perorangan yang siap menjadi penyalur untuk daerahnya. Selain melalui media internet, dapat pula melalui bantuan organisasi yang bergerak dibidang anggrek. Organisasi ini tentunya akan memiliki akses yang lebih luas kepada para pedagang anggrek di kota2 besar.

Grand strategy ini tentu tidak akan berjalan tanpa dukungan dari komunitas potensial lainnya, yaitu konsumen yang terdiri dari para kolektor, hobiis, penggemar anggrek, dan pedagang anggrek. Kelompok masyarakat ini memegang peranan penting untuk menciptakan suasana dinamis yang mendukung gerakan pemberdayaan komunitas lokal…khususnya dalam pembentukan opini pasar dan selera pasar. Terakhir, bahwa pelestarian berbasis komunitas lokal akan berjalan apabila memberi manfaat nyata yang realistis bagi pelakunya.

0 comments:

Post a Comment